Cuaca Ekstrem Ancam Malang Raya 10 Tahun ke Depan

Jawa Timur137 Dilihat

MALANG, TALIGAMA NEWS – Perubahan iklim nyata terjadi. Salah satu dampaknya, bencana hidrometeorologi telah dirasakan langsung masyarakat. Meski begitu langkah adaptasi dan mitigasi terhadap krisis itu belum kentara, seperti rata ruang yang tak peka lingkungan.

Di Malang Raya sudah sering terjadi bencana hidrometeorologi dampak krisis iklim. Seperti badai petir, hujan ekstrem, banjir bandang, angin kencang sampai hujan es. Dalam 10 tahun ke depan, cuaca ekstrem seperti hujan lebat diprediksi bakal lebih sering terjadi di wilayah ini.

Koordinator Bidang Observasi dan Informasi BMKG Stasiun Klimatologi Malang Ahmad Luthfi mengatakan, dampak nyata perubahan iklim bisa dirasakan dari semakin seringnya hujan sangat lebat mengguyur Malang Raya. Banjir pun kerap terjadi di daerah ini, khususnya Kota Malang.

“Jumlah terjadinya hujan lebat semakin meningkat, itu sudah bisa dirasakan dan lihat langsung,” kata Lutfi, Senin (23/5/2022).

Ia menjelaskan, kategori hujan lebat bila curah hujan lebih dari 50-100 milimeter per hari. Hujan sangat lebat dengan curah hujan 100-150 milimeter per hari. Lalu hujan ekstrem bila curah hujan di atas 150 milimeter per hari. Hujan sangat lebat kini sering mengguyur Malang.

Dicontohkannya pada 15 Maret dan 19 Maret 2022 lalu. Saat itu hujan sangat lebat mengguyur Kota Malang selama 2-3 jam. Meski singkat, banjir terjadi di berbagai titik kota. Sebab limpahan air tak mampu tertampung saluran, ditambah lagi kawasan resapan air semakin berkurang.

“Kalau direnungkan, hujan sangat singkat tapi menyebabkan banjir di mana-mana,” ujar Lutfi.

BMKG memprediksi hujan lebat dan esktrem akan sering terjadi di Malang dalam 10 tahun ke depan. Itu berdasarkan perbandingan data proyeksi perubahan curah hujan musiman periode 2020-2030 dengan periode yang sudah terjadi sebelumnya yakni pada 2006-2016 lalu.

“Selama dua tahun terakhir ini hujan lebat lebih sering terjadi di Malang. Akan terus terjadi sampai 2030 mendatang,” ucapnya.

Karena itu semua pihak harus terlibat aktif bersama-sama mengerem laju perubahan iklim. Tujuannya meminimalisir potensi bencana hidrometeorologi yang bisa menimbulkan korban jiwa, kerugian harta benda dan lainnya.

“Kita tak bisa menghilangkan bencana. Tapi kami setidaknya sudah melakukan berbagai bentuk peringatan dini ke masyarakat terhadap kondisi ekstrem yang akan terjadi,” urai Lutfi.

BMKG memetakan siklus bencana yang muncul setiap tahun. Pada Desember rentan terjadi bencana tanah longsor, banjir dan gelombang tinggi di kawasan pesisir. Sepanjang Maret – Mei di pulau Jawa kondisi ekstrem seperti puting beliung, angin kencang, badai petir sampai hujan es.

Lalu pada periode Juni – Agustus sering terjadi bencana kekeringan, kebakaran hutan dan lahan dan di wilayah pesisir biasanya terjadi gelombang tinggi. Untuk September – November, masa peralihan musim juga rentan terjadi putting beliung dan hujan es.

“Siklus bencana tiap tahun itu seharusnya dipahami masyarakat, lalu berlatih dan bersiap mengantisipasinya,” ucap Lutfi.

Apalagi bencana hidrometeorologi dampaknya tak hanya di satu daerah saja, wilayah lain pun turut terdampak. Misalnya peristiwa banjir bandang di Kota Batu pada November 2021 silam. Dampak limpahan air di kawasan hulu Brantas itu turut menimbulkan bencana di Kota Malang.

“Bila ditinjau dari kerawanan, maka wilayah kita ini gudangnya kerawanan. Ini harus dipahami semua pihak,” kata Lutfi.

Meski begitu, memberi pemahaman ke masyarakat masih menjadi pekerjaan berat bagi BMKG. Sebab penyajian data dan informasi belum menjadi bahan pertimbangan dalam mengambil kebijakan dan mengantisipasi kondisi ekstrem dampak krisis iklim.

“Masyarakat harus bisa mengenali potensi bahaya yang bisa terjadi di lingkungannya, serta melatih kesiapan menghadapinya demi meminimalisir dampak bencana,” kata Lutfi. (Afril/San)